Oleh KH. Rahmat Abdullah rahimahullah
Di negeri yang malang ini, sikap ekstrem selalu berpadanan: ifrath dan tafrith, keras berlebihan dan lunak berlebihan. Tentang loyalitas, ada orang yang mau meletakkan akal sebagai nikmat terbesar sesudah iman, teronggok begitu saja tanpa kerja. Karenanya para pemimpin yang ingin menuai keuntungan besar dengan waktu singkat harus menyemai benih-benih kebodohan dan menyikapi setiap langkah pencerahan sebagai hama yang akan menggagalkan panen mereka. Sukar dibayangkan para penguasa tiran dan pembual bukan saja bisa bertahan begitu lama. Tetapi mendapat pembelaan yang mencengangkan.
Sementara sudut ekstrem lawannya membayangkan taat, dengan dalil yang tepat “La tha’ata limakhluqin fi ma’shiyatil Khaliq” (Tidak boleh taat kepada makhluk dalam rangka memaksiati Al Khaliq) tetapi dengan semangat siap tempur, seakan semua yang baru adalah ancaman yang harus dilawan. Dengan sarat beban duka, kepedihan dan trauma era otoriter mereka gunakan dalil di atas untuk menolak keputusan syura suatu lembaga, ormas, orpol, jamaah atau jami’iyah, karena tak sejalan dengan persepsi atau ambisi pribadi. Atau mengecam dengan keras perintah seorang pemimpin yang sah, karena kesaiahan atau maksiat pribadinya.
Jadilah kedua profil ini mencerminkan suatu kelompok yang mewajibkan semua yang mustahil demi sang pemimpin dan di sisi lain kelompok yang bahkan di saat yang sangat genting tega membiarkan pemimpin nasional ormasnya pergi di bawa orang yang tak dikenalnya.
Semoga Allah merahmati para ulama amilin, mufassir, muhaddits dan fuqaha’ yang tak henti-hentinya ’berseteru’ dengan para khalifah (sultan) pasca Khulafa Rasyidin, denqan memberi nasihat dan kritik, yang kerap membuat para ulama itu harus bersabar di balik terali atau menahan siksaan fisik dan mental. Namun ketika khalifah mengeluarkan perintah jihad, mereka berada di barisan terdepan tanpa ragu memisahkan antara taat kepada sultan atas otoritasnya dan maksiat sultan atas kelemahannya.
Sungguh beruntung umat, komunitas, atau bangsa yang mampu mengatakan “Tidak” pada saat mereka harus mengatakan tidak, betapapun cinta mereka yanq besar kepada sang pemimpin.
Betapa selamat umat, komunitas, atau bangsa yang mau berlapang hati untuk mengorbankan kemauan, pandangan dan persepsi pribadinya saat mereka bertentangan dengan sang pemimpin karena ia berbasiskan landasan syar’i dan sisi yang kokoh betapapun ketidaksukaan mereka kepadanya dalam beberapa hal. Lebih beruntung mereka yang dapat mengatakan tidak tentang sesuatu yang tak didukung shahhun nash (dalil yang terang), lalu tunduk kepada putusan syura, bahkan ’sekadar’ perintah seorang pemimpin. Yang tidak beruntung adalah mereka yang menggadaikan seluruh aset perjuangan kepada pemimpin yang culas, licik dan arogan.
Bangga dalam Taat
Apa yang bisa dibuat oleh sekelompok besar kaum terdidik, cendekiawan dan intelektual, yang tak punya ruang bagi taat dalam hatinya, karena refleksi hati mereka telah terbangun di atas kondisi sulit dan kekesalan yang panjang atas kezaliman para penguasa. Ketaatan tak lagi mulia, bahkan dengan serampangan dikonotasikan sikap penjilat yang menjijikkan, betapa pun pemimpin yang ditaati itu memang berhak ditaati secara akal dan syar’iat. Mereka telah muak dengan pergelaran super kolosal tiran yang rakus dan penjilat yang tak bermalu.
Sisi positif sikap ini ialah daya hadangnya yang besar terhadap kemungkinan serial panjang kultus individu. Dan negatifnya, sikap skeptis, anarkis dan keangkuhan terhadap para pemimpin kebenaran yang terbatasi oleh kodrat kemanusiaannya. Kalau saja, mereka melihat si Yankee yang mengritik presidennya dengan pedas tetapi mati-matian membela presiden dan negerinya di hadapan bangsa-bangsa lain. Malang nian nasib aktifis tanggung ini. Liberal belum sampai, loyalis lewat massa.
Kalaulah mereka tahu lezatnya taat bagi seorang Abu Ubaidah Amir bin Jarrah. Sepanjang karirnya sebagai da’i dan panglima, tak satupun perintah atasan ditentangnya, baik itu Rasulullah, khalifah Abu Bakar ataupun Umar. Tak satu kata protes disimpannya di hati, apatah lagi diungkapkannya kepada Rasulullah, ketika beliau menugaskannya membawa suatu pasukan ke medan berat hanya dengan bekal sekantung makanan yang dihitung-hitung setiap prajurit hanya kebagian satu butir sehari yang harus difungsikannya sebagai sarapan pagi, makan siang, dan makan malamnya. “Maka kami merendam sebutir kurma itu dan menghisapnya seperti bayi menghisap susu ibunya”. Dan mereka menang.
Suatu masa, Abu Ubaidah membalas surat khalifah Umar yang memintanya meninggalkan pasukan di Syam karena ia mengkhawatirkannya terjangkit tha’un yang sedang mewabah. “Amirul Mu’minin, saya tak pernah satu kalipun menolak perintah, dari jaman Rasulullah saw, Abu Bakar dan jamanmu. Namun karena saya sedang berada di tengah pasukan muslimin yang meregang nyawa, di tengah wabah tha’un maka izinkanlah saya untuk sekali ini menolak perintah. Izinkan saya tetap bersama mereka”.
Umar menangis membaca surat itu.
Para sahabat bertanya, “Telah wafaatkah ia?”
“Tidak, tetapi kematian telah begitu dekat kepadanya,” jawab Khalifah dengan sedih.
Ia (Abu Ubadah) harus memilih antara ’menentang’ perintah atau itsar.
Berapa detik yang diperlukan Ibnu Atban untuk menyelesaikan tugas fitrahnya terhadap isteri yang dicintainya, namun ia tinggalkan itu demi sebuah panggilan dari sang junjungan, Rasulullah saw yang begitu cepat diresponnya. Sampai-sampai beliau menegurnya dengan kasih, “Saya telah membuatmu tergesa-gesa, wahai saudaraku?”
Taat sebagai buah wala’ (loyalitas) yang memunculkan thaqatu’t taghyir (kekuatan daya ubah) yang luar biasa.
Salah satu pengakuan Rasulullah atas ketaatan perempuan Madinah ialah sikap mereka yang spontan ’menyambar’ apa saja untuk menutupi sisa bagian tubuh mereka karena turunnya ayat hijab. Dan, kalau ada parit berisi khamr maka itu adalah kerja penduduk Madinah dalam sebuah pesta besar. Begitu mereka menerima informasi akhir tentang larangan tuntas meminum khamr, mereka langsung menumpahkan khamr-khamr keluar sehingga tercipta sebuah parit dengan aliran khamrnya.
Orang yang sakit pikiran berkhayal kalau hal itu hanyalah ketaatan kepada Rasulufiah saw dan belum tentu untuk para sahabat, tabiin atau pemimpin muslim biasa. Ternyata sampai zaman khilafah Umar bin Khattab, Abu Ubaidah tetap setia seperti gelar yang diberikan Rasulullah saw, “Setiap umat punya orang kepercayaan (amin) dan orang kepercayaan umat ini Abu Ubaidah”.
Ali tetap mengutus putera-puteranya untuk menjaga Khalifah Utsman dari serangan kaum bughat (pemberontak).
Qadhi (hakim) Cordova tetap meminta syarat kepada sultan bila ia tetap ingin sang qadhi menjadi khatib Jum’at terutama di hari peresmian masjid yang megah itu, agar ia tidak dibatasi dalam berbicara. Sultan menangis oleh pesan-pesan yang mendalam, ikhlas, dan berani.
“Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah tinggi bangunan untuk bermain-main dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)? Dan apabila kamu menyiksa, maka kamu menyiksa sebagai orang-orang kejam dan bengis. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku” (QS.Al-Furqan:128).
Pemerintahan Abu Bakar yang singkat bukan sekadar suatu pergantian kekuasaan siasati menyusul wafatnya sang Rasulullah saw. Ia merupakan sebuah pembuktian kepada dunia bahwa memang ketaatan Islami itu bukan sekadar taat kepada figur, tetapi justru kepada risalah (misi).
Alangkah berhajatnya generasi hari ini kepada daya krisis yang tidak menafikan ketaatan dan loyalitas yang tetap memelihara kesuburan daya kritis.
Ketaatan dan Daya Sambut (Istijabah)
Hakekat ketaatan ialah kepada Allah, Rasul-Nya dan sesama orang beriman. Bila ketaatan itu terwujud dalam hubungan antara makhluk, pemimpin dengan pemimpin, maka keikhlasan adalah hal yang paling dominan sehingga ketaatan itu dapat bernas.
Sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash telah memerankan hal tersebut dengan baik. Kecintaannya kepada ibu tak membuat imannya luluh, sekalipun sang ibu telah mogok makan (dan akhirnya menang dengan cara ikut beriman seperti puteranya). Sudah sepatutnya do’a mustajab Rasulullah menjadi haknya. “Ya Allah, tetapkanlah bidikannya dan kabulkanlah do’anya,” demikian doa beliau. Sampai-sampai ia (Sa’ad bin Abi Waqqash) menahan diri dari menyumpahi orang karena fitnah yang dilancarkannya. “Ya Allah, jika hamba-Mu ini dusta, maka panjangkanlah umurnya dan panjangkanlah miskinnya.”
Masihkah jaman kita menyisakan ’tuah’ yang membersit dari doa tulus pemimpin kaum, jamaah, ormas ataupun orpol? Mustahilkah jaman kini dari istijabah yang menyubur-berkahkan hidup para kader dan aktifis dari kucuran doa para masyaikh dan pemimpin atas pribadi-pribadi atau kelompok?
Orang itu mengaku di usianya yang senja, “(Aku) orang tua renta yang tertimpa doa Sa’ad.”
Seorang Umar Tilmisani pengacara muda yang necis dan lembut berusaha menjadi murid yang taat dan menyesuaikan diri dengan gurunya Al-Banna dalam berkorban, hidup sederhana dan berani. Tak ada kekuatan pemerintahan yang membuatnya takut berkata benar dan tak ada penghinaan yang membuatnya kehilangan kesantunan.
Suatu hari di sebuah acara resmi yang disiarkan berbagai media cetak dan elektronik, Presiden Anwar Sadat menyerang jamaahnya dengan tuduhan keji dan tak berdasar: separatis dan berbagai tuduhan batil. Dengan tenang, Tilmisani menjawab, “Hal yang lumrah bila aku dizalimi oleh siapapun untuk mengadu kepadamu sebagai rujukan tertinggi sesudah Allah dalam kapasitasmu tempat bernaung kaum tertindas. Sekarang aku mendapatkan kezaliman darimu, karenanya tak ada kemampuan bagiku selain mengadukan kepada Allah”
Spontan Sadat gemetar, ngeri dan mengiba-iba agar Tilmisani menarik pengaduannya kepada Allah. Dengan tegas, sopan dan kuat, Tilmisani menjawab, “Aku tak mengadukanmu kepada (penguasa) yang dzalim. Aku mengadukanmu hanya kepada Tuhan yang adil yang mengetahui apa yang kukatakan.”
Itulah pengalaman di hari-hari terakhir hayatnya. Sadat menyerang seorang pemimpin dan mursyid jamaah, sebelum kematian yang perih membungkamnya.
Masihkah jaman kita menyisakan ’tuah’ yang membersit dan doa tulus pemimpin kaum, komunitas, jamaah, ormas atau orpol?
Mustahilkah jaman kini dari istijabah yang menyubur-berkahkan hidup para kader dan aktifis dari kucuran doa para masyaikh dan pemimpin atas pribadi-pribadi ataupun kelompok? Ataukah para peniru pembangkang dan kaum arogan telah siap menerima limpahan sumpah yang akan menenggelamkan mereka karena kerontang ketaatan di hati mereka?
“….maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (QS. An-Nun 63).
Sumber: Tarbawi Edisi 17 Th. 2/28 Pebruari 2001 M/Dzulqo’dah 1421 H
Rabu, Februari 17, 2010
TAAT
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar